"Wilujeung sumping...Selamat datang di Kasepuhan kami, Kasepuhan Sinar resmi...," demikian sapaan Abah Asep Nugraha saat beramah ramah dengan kami, rombongan Care Visit Dompet Dhuafa.
Ramah dan bersahaja, kesan yang kudapati dari sosok beliau. Sudah 8 bulan Dompet Dhuafa dengan program Pertanian Sehat membantu Kasepuhan Sinar Resmi ini untuk tetap menghasilkan produk pertanian yang sehat tanah. (baca cerita sebelumnya)
Langit sudah mulai terang saat aku dan beberapa peserta care visit Agriculture bangun di pagi itu, 21 Desember lalu. Tapi jam masih menunjukkan pukul 5 kurang. Beginilah kalau tinggal di kaki gunung, cahaya matahari lebih cepat diterima. Selesai sholat subuh, masing-masing dari kami bergantian ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi. Udara pagi yang sejuk ditambah air yang sangat dingin membuat beberapa dari kami malas untuk mandi.
Tapi aku harus mandi. Kemarin sore setiba di tempat ini aku tidak mandi karena dinginnya air.
|
Kasepuhan Sinar Resmi di waktu pagi. Aiih, dapat juga sinar mentarinya. |
Aku menginap di rumah salah satu warga (maaf aku lupa dengan nama pemilik rumah). Rumah beliau berada di tenggara imah gede. Letaknya agak kebawah dari imah gede karena kontur tanahnya yang menurun. Ada 5 kamar di rumah itu yang dipersiapkan untuk kami, dan yang tinggal serumah denganku ada 14 orang, sebagian besarnya adalah teman-teman blogger yang sudah ku kenal. Selebihnya tinggal di rumah warga yang lainnya.
Minggu pagi itu selesai merapikan diri, aku dan salah seorang teman blogger, Fitri, mulai berkeliling sekitar kasepuhan. Kami berniat mencari spot foto untuk bisa memotret sunrise. Waktu tiba kemarin harinya, kami memang sudah mengincar beberapa tempat sebagai lokasi pengambilan foto. Tapi karena hujan, jalanan menjadi becek membuat kami mengurungkan niat ke tempat-tempat tersebut. Sunrise tetap harus di foto walau kabut tipis membuat hasil fotoku sedikit kurang jelas...maklum kamera hp :)
Aku dan Fitri hanya berkeliling sebentar. Karena perut sudah lapar. Mungkin karena hawa dingin yang membuat cepat lapar ya. Saatnya sarapan.
Di meja makan imah gede, sudah tersaji sarapan untuk para peserta. Ada 3 boboko (tempat nasi dari anyaman bambu) berisi 3 jenis nasi. Ini yang membuat aku takjub dari kemarin ketika kami sampai di kasepuhan ini. Selalu ada sajian 3 macam nasi! Nasi putih, nasi merah dan nasi hitam (agak keungu-unguan). Menurut Ambu, istri Abah, ketiga nasi ini berasal dari beras yang ditanam di sawah kasepuhan ini. Dan benar-benar murni merupakan beras lokal yang proses menanamnya bebas dari pestisida berbahaya. Pantas rasa nasinya lebih enak, apalagi dimasak menggunakan hawu (tungku kayu bakar) kadar enaknya jadi 2 kali lipat.
Tak heran maka ketika Kasepuhan Sinar Resmi ini dipilih oleh Dompet Dhuafa sebagai partner untuk program Care Visit Agriculture. Karena yang menonjol dari kasepuhan adat ini adalah kuatnya dalam menjaga tradisi pertanian. Kasepuhan Sinar Resmi telah secara turun temurun terutama dalam hal budidaya, pantang menggunakan input pertanian sintetis dari luar. Mereka juga melarang menjual hasil pertanian kepada orang lain. Dengan tradisi yang kuat tersebut saat ini lebih dari 67 benih padi lokal yang masih terjaga. Sistem non komersial dalam budaya bertani juga telah memberikan contoh bagaimana membangun kedaulatan pangan para petani warga kasepuhannya. Minimal satu petani wajib memiliki lumbung (leuit) untuk cadangan pangan selama satu tahun.
"Beras sebagai bahan pangan utama yang dikonsumsi setiap hari sangat berpotensi mengandung residu pestisida berbahaya. Untuk menghasilkan produk beras sehat dan bebas dari residu pestisida kimia sintetis, dibutuhkan kualitas lingkungan yang baik dan cara berbudidaya yang ramah lingkungan. Proses untuk mewujudkan prasyarat tersebut membutuhkan waktu dan keseriusan dalam menjalankannya. Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa sejak 1999 telah melakukan beberapa upaya untuk ikut serta mewujudkan pertanian sehat ramah lingkungan tersebut." 1.
Dan hari minggu itu, setelah menikmati sarapan kami akan melihat langsung ke sawah tempat padi-padi itu ditanam. Yeeeee...main ke sawah!
Eit, jangan senang dulu. Sawah yang kami tuju bukan sembarang sawah, melainkan sawah yang berada di balik bukit. Untuk mencapainya ada sekitar 1,5 jam berjalan kaki. Dan jalan yang kami lalui agak licin sisa hujan. Pilihan alas kaki adalah sepatu...atau tidak sama sekali. "Jangan pake sendal jepit ya..." begitu pesan salah satu panitia.
Berjalan menyusuri pematang sawah yang hijau sungguh menyejukkan mata. Sesekali kami berpapasan dengan warga yang memikul rumput ilalang untuk makanan ternak. Mereka berjalan tanpa alas kaki. Kami dikawal oleh seekor anjing, karena sawah yang kami tuju melewati hutan yang masih banyak celeng/babi liar. Walau jalan yang kami lalui jauh dan cukup menantang, tidak ada satupun dari kami yang mengeluh. Seolah alam menerima kehadiran kami. Kami terasa senang, malah sambil bernyanyi dan bergurau terus menyusuri jalan setapak terus keatas bukit.
|
Sumber: foto milik Dian Mulyadi |
|
Sumber: foto milik Dian Mulyadi |
|
Anjing yang mengawal kami ke sawah |
Sejenak berdiri melihat hamparan hijau sawah-sawah itu, aku seperti merasakan keharmonian alam...ah, lebay deh.
Ada rasa haru, bahwa Indonesia masih punya kekayaan alam ini. Dibalik megahnya gedung-gedung tinggi, macetnya kota kota besar, di lain tempat di Kasepuhan Sinar Resmi ini ada banyak petani yang masih berjuang menanam padi.
Terhampar di depan kami berbagai jenis padi. Ada padi sri kuning yang menghasilkan beras putih pulen, Padi Salak, Cere Kawat, Terong yang akan menghasilkan beras merah, dan jenis padi lainnya yang menghasilkan beras hitam, dan ungu.
|
Sebagian jenis-jenis padinya. |
|
leuit. Ibu ini sedang mengambil padi untuk kemudian di proses menjadi beras, kami diperlihatkan semua prosesnya. |
Padi-padi tersebut membutuhkan waktu 6 bulan untuk kemudian dipanen. Padi-padi yang dipanen akan disimpan di dalam leuit. Disimpan dalam bentuk pocongan (ikatan), setiap pocongan kira-kira ada 3 kilo. Setiap warga yang memiliki sawah pasti memiliki leuit. Warga yang mendapatkan panen melebihi 50 pocong, wajib menyisihkan 1 pocong untuk dikumpulkan di leuit jimat (leuit bersama). leuit jimat ini merupakan tempat penyimpanan pocong bersama yang diperuntukkan bagi warga desa bila ada yang membutuhkan.
Jadi, kita bisa mengetahui kesejahteraan suatu desa dari jumlah leuit jimat yang ada. Makin banyak leuit jimat dan jumlah pocong yang tersimpan di dalamnya, berarti desa tersebut sejahtera.
Sungguh sebuah pemandangan yang tidak biasa buatku. Tidak hanya sampai dimana padi ditanam, aku juga diperlihatkan bgaimana proses padi itu akan berubah menjadi hidangan nasi di atas meja.
Dari padi di tanam, disimpan ke leuit, ditumbuk, ditampi, dan seterusnya.
Serangkaian proses panjang yang tidak mudah, yang seharusnya seketika itu membuat kita sadar bahwa begitu berharganya sebutir nasi.
Sesekali ingin rasanya mengajak Sava dan Gibe ke tempat-tempat seperti ini. Mengenalkan kepada mereka tentang adat dan kebudayaan asli Indonesia, mengingatkan kepada mereka bahwa Indonesia bukan hanya mal2 dan gedung2 tinggi.
Terimakasih buat Dompet Dhuafa atas kesempatannya untuk bisa menikmati keindahan Indonesia. Smoga kita tetap bisa melestarikan adat budaya dan benih lokal asli Indonesia. Dan menjadikan kita lebih berdaya dan berdaulat di bidang pangan.
Sumber :
- http://www.dompetdhuafa.jp/component/content/article/59-info-dd-pusat/1607-memberdayakan-petani-dengan-pertanian-sehat-.html