"MasyaAllah, ini udah kayak di Bali, Mah." ujar Sava begitu kami memasuki area Pura.
Adalah Pura Jagatkarta, tujuan Sava dan Gibe kali ini. Pura terbesar di Jawa Barat dan terbesar ke-2 di Indonesia setelah Pura Besakih Bali.
Sabtu (22/11), selesai menghadiri undangan resepsi pernikahan dan menjemput Sava-Gibe dari sekolah, kami pun berangkat menuju Pura Parahyangan Agung Jagatkarta. Berbekal arahan yang dikirim Rani, teman blogger Bogor (tengkyu ya, Rani cantik), kami menuju ke sana. Dari daerah Gunung Batu, yang harus kami cari pertama adalah pertigaan Pasir Kuda, lalu Pancasan. Dari Pancasan, belok kanan dan lurus saja mengikuti jalan utama sampai menemukan pertigaan Ciapus. Setelah ketemu pertigaan Ciapus, belok kanan dan lurus lagi. Kira-kira 3 km kemudian akan terlihat plang menuju Pura Jagatkarta. Demikian arahan jalan dari Rani. Agak ribet sepertinya, padahal tidak.
Sangatlah mudah menuju tempat peribadatan umat Hindu ini. Apalagi jika menggunakan angkutan umum. Dari Terminal Baranangsiang atau stasiun Bogor naik saja angkot tujuan BTM. Dari BTM lanjut naik angkot rute BTM - Ciapus. Angkot ini nantinya akan melewati pertigaan jalan menuju Pura Jagatkarta. Di Pertigaan ini akan terlihat plang menuju Pura Jagatkarta. Dari pertigaan ini lokasi Pura Jagatkarta sekitar 1 km. Bisa di tempuh dengan jalan kaki atau naik ojek.
Pura Parahyangan Agung Jagatkarta dianggap sebagai tempat persemayaman dan pemujaan terhadap Prabu Siliwangi dan para hyang (leluhur) dari Pakuan Pajajaran yang pernah berdiri di wilayah Parahyangan.
Pura Jagatkarta ini terletak di kaki Gunung Salak, di Ciapus, Bogor. Konon Pakuan Pajajaran Sunda pernah berdiri di lokasi Gunung Salak tersebut. Pakuan Pajajaran adalah wilayah ibukota Kerajaan Sunda Galuh, Kerajaan Hindu terakhir di Nusantara (bersama Majapahit) yang mengalami masa keemasannya di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi, sebelum ditaklukkan oleh Muslim Jawa di abad ke-16. Tata letak Pura Jagatkarta juga berdasarkan legenda bahwa titik tersebut adalah tempat di mana Prabu Siliwangi mencapai moksa bersama para prajuritnya, sehingga sebelum dibangun, sebuah Candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam (lambang Prabu Siliwangi) didirikan sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.
Sava dan Gibe sampai sekitar pukul 2 lewat. Sebentar lagi Pura akan tutup kunjungan.. Pada hari biasa Pura Jagatkarta dibuka untuk umum dari jam 11.00-15.00 WIB. Tapi untuk hari-hari besar agama Hindu Pura Jagatkarta tidak menerima kunjungan umum. Hanya dibolehkan untuk para jemaat yang akan beribadah.
Buru-buru Sava dan Gibe menuju lokasi Pura.
Oiya, sebelum masuk lokasi Pura, ada beberapa tata tertib yang harus dipatuhi. Termasuk memakai selendang kuning atau putih yang dililitkan di pinggang. Menurut bapak penjaga, ini dimaksutkan untuk menolak bala atau musibah.
Untuk masuk ke area Pura Jagatkarta tidak dikenakan biaya. Hanya ada pemberian seikhlasnya untuk dana pemeliharaan Pura. Setelah memakai selendang kuning dan putih yang diberikan oleh penjaga Pura , kami diarahkan ke jalan sebelah kanan. "Pengunjung masuk dari sebelah kanan, bu. Yang sebelah kiri untuk yang akan beribadah. Tapi kalau ibu mau melihat, hanya boleh sebatas gapura saja," begitu penjelasan bapak penjaga.
|
Jalan menuju area pengunjung. Ada di sisi kanan. |
|
Gapura, gerbang masuk ke tempat beribadah. Ada di sisi kiri. |
|
Patung Ganesha, terlihat begitu kita berdiri di gapura |
|
Banyak orang dari luar Bogor yang beribadah ke Pura Jagatkarta |
Sava dan Gibe tidak bisa berlama-lama di sini. Karena hari sudah sore dan jam berkunjung Pura juga sudah lewat. Tapi eits, jangan pulang dulu. Ada satu komplek Pura lagi di sekitar Pura Jagatkarta. Yaitu
Pura Pasar Agung dan Pura Melanting. Gibe sangat bersemangat memasuki area Pura ini. Tapi pengunjung tetap tidak boleh masuk, hanya boleh melihat dari gapura Pura saja.
Pura Pasar Agung dan Pura Melanting ini digunakan khusus untuk bersembahyang memohon penglaris usaha.
"Ma, kenapa kita ga boleh masuk?"
"Ini area yang dianggap suci, sayang. Tempat orang Hindu beribadah, tidak semua orang bisa masuk ke area ini. Dan kita harus menghargai itu."
Sayang sekali, turunnya hujan sore itu membuat Sava-Gibe tidak bisa melanjutkan penjelajahan Pura. Kami pun bergegas balik ke mobil.
Senang bisa mengenalkan kepada Sava-Gibe tentang macam kebuadayaan bersejarah di sekitar mereka. Sepertinya minggu besok Sava-Gibe akan stop dulu mencari tempat wisata di luar kota Bogor. Mereka akan aku ajak menjelajahi Bogor karena ternyata masih banyak tempat bagus di dekat kami.
*Sampai ketemu lagi ya di cerita jalan-jalan Sava-Gibe berikutnya.